Bina Hukum Lingkungan http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl <p><strong>Bina Hukum Lingkungan (BHL)</strong> is a scientific periodical published by the <a href="https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/phli" target="_blank" rel="noopener">Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia</a> (PHLI) published three times a year in October, February, and June.<br />BHL is a publication medium for academics and practitioners to publish research articles and conceptual review articles in the field of environmental law (national and international).<br />The scope of studies in Bina Hukum Lingkungan includes legal aspects: Spatial Planning; Agrarian; Forestry; Mining; Energy, Mineral Resources and Coal; Local Wisdom; Environmental Disputes; Marine and Fisheries; Biodiversity; Climate Change; Housing; Water Resources.</p> <p>BHL Journal is accredited by Ristekdikti with an Accreditation rating of <a title="Akeditasi" href="https://sinta.kemdikbud.go.id/journals/profile/3930" target="_blank" rel="noopener">SINTA 2</a> Accredited Until Volume 11 Number 4 Year 2026 Decision letter file <a title="SK Re-Areditasi" href="https://storage.googleapis.com/arjuna-files/file/info/Pemberitahuan_Hasil_Akreditasi_Jurnal_Ilmiah_Periode_IV_Tahun_2022_(Revisi).pdf" target="_blank" rel="noopener">PDF</a><br /><br /><strong>P-ISSN:</strong> <a title="P-Issn" href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1465201045" target="_blank" rel="noopener">2541-2353</a><br /><strong>E-ISSN:</strong> <a title="E-ISSN" href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2541-531X" target="_blank" rel="noopener">2541-531X</a><br /><strong>DOI:</strong> <a title="doi bhl" href="https://doi.org/10.24970/bhl" target="_blank" rel="noopener">10.24970/bhl</a><br /><strong>Publisher:</strong> <a href="https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/phli" target="_blank" rel="noopener">Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia</a><br /><strong>Author Guidelines:</strong> <a title="Pedoman Penulisan" href="https://drive.google.com/file/d/1uT6ENzGL5JBIlGnaL8vbsFR2fTBPf5eQ/view" target="_blank" rel="noopener">download</a><br /><strong>Manuscript Templete</strong>: <a title="Template Jurnal" href="https://docs.google.com/document/d/1Y-gxRaMnJfpZeGdNcrWLwPJYf3l4x-F-/edit" target="_blank" rel="noopener">download</a><br /><strong>Statement of Originality</strong> : <a title="Statement of Originality" href="https://docs.google.com/document/d/1qdfmPIby9-EkUOhpcQo1doZai-vfeVOi/edit?usp=sharing&amp;ouid=108569484779588927172&amp;rtpof=true&amp;sd=true" target="_blank" rel="noopener">download</a></p> Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) en-US Bina Hukum Lingkungan 2541-2353 Problematik Hukum dan Perlindungan Hak Masyarakat dalam Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Perkebunan http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/468 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Hubungan masyarakat dengan kawasan hutan telah terjalin begitu erat. Sayangnya hubungan ini belum didukung dengan tata kelola pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang memadai hingga berujung pada hadirnya konflik kehutanan. Salah satu konflik yang terjadi adalah penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Nagari Air Bangis yang belum mendapatkan kepastian dan keadilan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan, bagaimana hak masyarakat sekitar kawasan hutan dan implementasi prinsip keterlanjuran pada kegiatan perkebunan di kawasan hutan. Dengan pendekatan yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan serta hak-hak masyarakat dalam penggunaan kawasan hutan telah diatur sedemikian rupa. Sayangnya berbagai faktor penyebab konflik masih terjadi hingga menuntut hadirnya penyelesaian yang aplikatif dan berkeadilan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dari uraian kajian ini, maka solusi yang dapat dihadirkan terkait problematik hukum penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan sawit yang telah terjadi di Nagari Air Bangis dapat diselesaikan dengan mekanisme <em>forest amnesty </em>sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> kawasan hutan; konflik kawasan hutan; masyarakat sekitar kawasan hutan; perkebunan.</p> <p> </p> <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em>The relationship between the community with forest areas has been very close. Unfortunately, this relationship has not been supported by adequate regulations that lead to the presence of forestry conflicts. One of the conflicts that occurred was the use of forest areas for oil palm plantations in Nagari Air Bangis which until now has not received certainty and legal justice. This research aims to answer the problem of how to regulate the use of forest areas for plantation activities, how the rights of CAFA and how to implement the principle of abandonment in plantation activities in forest areas. With an empirical juridical approach that is descriptive and analytical, the author concludes that in fact the rights of communities in the use of forest areas and the use of forest areas for plantation activities have been regulated in such a way. Unfortunately, various factors that cause conflicts still occur to demand an applicable and just solution for the communities around the forest. From the description of this study, the solutions that can be presented related to the problem of using forest areas for oil palm plantation activities by the forest amnesty mechanism as regulated in the Job Creation Law.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>forest area; forest area conflicts; communities around forest areas; plantation.</em></p> Syofiarti Titin Fatimah Nur Aini Copyright (c) 2025 Syofiarti, Titin Fatimah, Nur Aini https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 1 21 10.24970/bhl.v10i1.468 Kesepahaman Makna Kawasan Hutan dalam Mewujudkan Kepastian Hukum bagi Perizinan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/400 <p><strong>ABSTRAK </strong></p> <p>Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas unggulan pada sektor perkebunan masih memiliki permasalahan dalam proses perizinan berusaha, salah satunya permasalahan kepastian lahan bagi pelaku usaha. Terdapat 192 korporasi (perusahaan sawit) yang memiliki HGU namun lahan perkebunan kelapa sawitnya masuk ke dalam kawasan hutan. Luas lahan yang mencapai 3.126.439 (tiga juta seratus dua puluh enam ribu empat ratus tiga puluh sembilan) dilakukan oleh KLHK berdasarkan Keputusan Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan yang dilakukan secara sepihak pencabutannya. Penelitian ini menggunakan <em>black-letter</em> atau doktrinal yang dilakukan melalui analisis argumentasi yang dibangun dari seperangkat norma hukum dan doktrin dengan perumusan kesimpulan berupa adanya pertentangan antar norma (konflik antar norma/kaidah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepahaman makna kawasan hutan menjadi penting dalam menyelesaikan permasalahan perbedaan persepsi dari masing-masing Kementerian (sektoral) sebagai pemangku kebijakan perizinan usaha kelapa sawit. Terlebih, 192 korporasi yang sudah memiliki status hak atas tanah (HGU), seharusnya tidak dapat dibatalkan izin konsesinya pelepasan kawasan hutannya oleh KLHK, karena korporasi telah melewati serangkaian proses perizinan yang inkrah dengan tahap akhir perolehan HGU yang menjadi domain kepengurusan ATR/BPN apabila terjadi suatu pelanggaran. Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK seharusnya dapat melihat kepada prosedur Peraturan-Perundang-Undangan dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dengan 4 tahap rangkaian untuk mengukuhkan kawasan hutan agar menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> kepastian hukum; kesepahaman makna kawasan hutan; perkebunan kelapa sawit; pengukuhan kawasan hutan; perizinan. </p> <p> </p> <p><strong><em>ABSTRACT </em></strong></p> <p><em>Palm Oil as one of the leading commodities in the plantation sector still has problems in the business licensing process, one of which is the problem of land certainty for business actors. There are 192 corporations (palm oil companies) that have HGU but their oil palm plantation land is included in the forest area. The land area of 3,126,439 (three million one hundred twenty-six thousand four hundred thirty-nine) was carried out by KLHK based on Decree Number SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 concerning Revocation of Forest Area Concession Permits which was carried out unilaterally. This research uses black-letter or doctrinal analysis through argumentation built from a set of legal norms and doctrines with the formulation of conclusions in the form of conflicts between norms. The results showed that an understanding of the meaning of forest areas is important in resolving the problem of differences in perceptions from each Ministry (sectoral) as a policy holder of oil palm business licensing. Moreover, 192 corporations that already have land rights status (HGU), should not be able to cancel their concession permits for the release of forest areas by KLHK, because the corporation has gone through a series of incomplete licensing processes with the final stage of obtaining HGU which is the domain of the ATR / BPN management if a violation occurs. The confirmation of forest areas carried out by the MoEF should be able to look at the procedures of the Regulations and Constitutional Court Decision No. 45 / PUU-IX / 2011 and Constitutional Court Decision No. 34 / PUU-IX / 2011 with a series of 4 stages to confirm forest areas in order to create legal certainty for palm oil business actors in Indonesia.</em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> licensing; oil palm plantation; forest area gazettement; forest area understanding; legal certainty.</em></p> Muhammad Rifqi Rafi Drajat Amalia Nurfitria Syukur Mutiara Panjaitan Copyright (c) 2025 Muhammad Rifqi Rafi Drajat, Amalia Nurfitria Syukur, Mutiara Panjaitan https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 22 42 10.24970/bhl.v10i1.400 Harmonisasi Hukum Lingkungan dalam Pemanfaatan Refuse Derived Fuel untuk Transisi Energi untuk Net Zero 2060 http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/481 <p><strong>ABSTRAK</strong><br />Permasalahan pengelolaan sampah dan kebutuhan transisi energi menuju target Net Zero Emission 2060 menuntut adanya instrumen hukum yang jelas dan aplikatif. Salah satu terobosan yang berkembang di Indonesia adalah pemanfaatan Refuse Derived Fuel (RDF) pada industri semen sebagai alternatif pengganti energi fosil. Namun, kerangka regulasi yang ada masih menghadapi disharmoni, baik antar undang-undang maupun antara kewenangan lembaga, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi RDF dalam sistem hukum lingkungan dan energi nasional, mengidentifikasi potensi konflik hukum, serta merumuskan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan prinsip hukum lingkungan berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif-yuridis dengan analisis peraturan perundang-undangan, dokumen kebijakan, serta perbandingan praktik internasional. Penelitian ini juga memanfaatkan studi kasus aktual, termasuk praktik RDF di industri semen dan keterkaitannya dengan perdagangan karbon global. Hasil analisis menunjukkan bahwa RDF memiliki potensi strategis dalam menurunkan emisi industri semen dan mengurangi timbunan sampah, namun belum memperoleh pengakuan eksplisit dalam regulasi nasional. Kondisi ini mengakibatkan kontribusi RDF tidak tercatat dalam dokumen mitigasi resmi, serta menimbulkan potensi konflik hukum dalam skema perdagangan karbon. Perbandingan internasional memperlihatkan bahwa keberhasilan RDF sangat ditentukan oleh kepastian hukum, standar mutu, serta integrasi dengan kebijakan energi. Kesimpulannya, RDF dapat menjadi instrumen penting menuju transisi energi berkelanjutan, tetapi membutuhkan reformasi hukum yang lebih sistematis. Rekomendasi kebijakan meliputi penyusunan payung hukum RDF, harmonisasi regulasi, pengembangan standar mutu, insentif ekonomi, serta integrasi RDF ke dalam strategi Net Zero Emission 2060.<br /><strong>Kata kunci:</strong> hukum lingkungan; net zero emission; perdagangan karbon, refuse derived fuel, tata kelola.</p> <p><br /><strong><em>ABSTRACT</em></strong><br /><em>Indonesia faces intertwined challenges of waste management and energy transition in achieving its Net Zero Emission 2060 target. One emerging pathway is the use of Refuse Derived Fuel (RDF) in cement industries as a substitute for coal, simultaneously addressing solid waste accumulation and reducing greenhouse gas emissions. Yet, the current regulatory framework is fragmented, with overlapping mandates between waste and energy laws, creating significant legal uncertainty. This study analyzes the normative position of RDF within Indonesia’s legal system, identifies regulatory gaps, and proposes policy reforms consistent with sustainable environmental law. The research employs a normative-juridical method through statutory interpretation, supported by conceptual and comparative approaches. Relevant legislation, government regulations, and ministerial decrees were examined alongside international practices in the European Union and Japan. A case study of RDF application in corporate illustrates both opportunities and challenges in practice, particularly regarding supply continuity, quality standards, and contractual arrangements with local governments. The findings show RDF’s strategic potential in reducing cement industry emissions and minimizing landfill dependency, but its absence in national legislation prevents formal recognition in climate policy and creates ambiguity in carbon trading schemes. Comparative experiences reveal that RDF requires explicit regulation, standardized quality, and integration into national energy policy to be effective. This study concludes that RDF can serve as a vital instrument for Indonesia’s sustainable energy transition. Key recommendations include enacting specific RDF regulation, harmonizing cross-sectoral laws, establishing national standards, providing fiscal incentives, and integrating RDF into the Net Zero Emission 2060 roadmap.</em><br /><em><strong>Keywords:</strong> carbon trading and legal conflict; energy transitio;, environmental law in Indonesia; net zero emission 2060 policy; refuse derived fuel; waste-to-energy governance.</em></p> Efendi Mista Sri Wahyuni Sata Yoshida Srie Rahayu Copyright (c) 2025 Efendi Mista, Sri Wahyuni, Sata Yoshida Srie Rahayu https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 10.24970/bhl.v10i1.481 Peran Kelompok Tani Wanoja dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Kamojang http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/480 <p><strong>ABSTRAK</strong><br />Alih fungsi lahan di Kabupaten Bandung telah menyebabkan meluasnya lahan kritis dan peningkatan risiko bencana alam seperti banjir bandang, longsor, dan erosi yang merugikan sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana Kelompok Tani Wanoja di Kecamatan Ibun mengelola pertanian kopi secara ramah lingkungan sesuai dengan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta dampaknya terhadap konservasi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kebaruan penelitian ini terletak pada fokus penerapan hukum lingkungan dalam praktik pertanian kopi yang dipimpin oleh petani perempuan, dengan pendekatan partisipatif dan konservasi yang terintegrasi. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus melalui observasi, wawancara langsung di lokasi produksi Kelompok Tani Wanoja, dan kajian literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelompok Tani Wanoja berhasil menanam lebih dari satu juta batang kopi di lahan seluas 118 hektare, yang sebelumnya mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian sayur dan menimbulkan bencana banjir bandang. Praktik pertanian tersebut menerapkan sistem agroforestri, penggunaan pupuk dan pestisida organik, pengelolaan limbah secara zero waste, dan pengelolaan sumber daya air yang efisien, sehingga mampu mengurangi risiko erosi dan banjir bandang sejak 2016. Keberhasilan ini juga didukung oleh pelibatan aktif perempuan sebagai agen perubahan dan dukungan pelatihan serta akses pasar ekspor, yang secara kolektif meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan anggota kelompok tani. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara konservasi lingkungan dan pemberdayaan komunitas tani dalam menghadapi tantangan alih fungsi lahan dan bencana alam.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> hukum lingkungan; komunikasi lingkungan; kelompok tani kopi; kelompok tani wanoja; alih fungsi lahan.</p> <p><br /><em><strong>ABSTRACT</strong></em><br /><em>Land use change in Bandung Regency has led to the expansion of critical land and an increased risk of natural disasters such as flash floods, landslides, and erosion, which have caused socio-economic losses to the community. This study aims to examine how the Wanoja Farmer Group in Ibun Subdistrict manages environmentally friendly coffee farming in accordance with the provisions of Article 70 of Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management, as well as its impact on environmental conservation and community welfare. The novelty of this research lies in its focus on the application of environmental law in coffee farming practices led by women farmers, using a participatory and integrated conservation approach. The method used is descriptive qualitative with a case study approach through observation, direct interviews at the Wanoja Farmers Group production site, and a review of relevant literature. The results of the study show that the Wanoja Farmers Group has successfully planted more than one million coffee trees on 118 hectares of land, which had previously been converted to vegetable farming and caused flash floods. These agricultural practices implement agroforestry systems, the use of organic fertilizers and pesticides, zero waste waste management, and efficient water resource management, thereby reducing the risk of erosion and flash floods since 2016. This success is also supported by the active involvement of women as agents of change and the provision of training and access to export markets, which collectively improve environmental sustainability and the welfare of farmer group members. This study underscores the importance of synergy between environmental conservation and farmer community empowerment in addressing the challenges of land conversion and natural disasters.</em></p> <p><em><strong>Keywords:</strong> environmental law; environmental communication; coffee farmer groups; Wanoja farmer groups; land conversion.</em></p> Wisma Putra Suwandi Sumartia Henny Sri Mulyani Copyright (c) 2025 Wisma Putra, Suwandi Sumartia, Henny Sri Mulyani https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-29 2025-10-29 10 1 10.24970/bhl.v10i1.480 Transformasi Regulasi Pertambangan dan Dinamika Variabel Strategis http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/469 <p><strong>ABSTRAK</strong><br />Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan variabel utama menurut Undang-Undang Minerba Nomor 3 tahun 2020 dan Undang-Undang Minerba Nomor 4 tahun 2009. Seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Minerba Nomor 3 tahun 2020 yang mengatur tentang hilirisasi, terjadi transformasi dalam konstelasi tata Aturan yang membawa konsekwensi pada perubahan struktur variabel utama di dalamnya. Penelitian ini memakai metode prospective analysis dengan alat bantu MICMAC (Matrix Cross- Reference Multiplcation Applied to a Classification) yang diperkuat dengan metode yuridis normatif yang didukung oleh data empiris. Penelitian ini menggunakan Teori Hukum Positivisme sebagai pisau analisis. Hasil menunjukkan pergeseran dan perubahan. Pada Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 ditemukan hanya ada tiga variabel (Kondisi Sosial Politik, Dinamika Politik Kawasan, Perlindungan Lingkungan Hidup) dan pada Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 variabel utama ada tujuh variabel (Kondisi Sosial Politik , Kondisi Perekonomian Nasional, Perubahan Kebijakan Global, Hilirisasi dan Nilai Tambah, Stabilitas Pasar Komoditas Global, Komitmen terhadap Transparansi). <br /><strong>Kata kunci:</strong> MICMAC; Prospective Analysis; Teori Hukum Positivisme; Transformasi; Variabel Strategi.</p> <p><br /><em><strong>ABSTRACT</strong></em><br /><em>The purpose of this paper is to find out how the main variables change according to Law Number 3 of 2020 and Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining. Along with the issuance of Law Number 3 of 2020 concerning Mineral and Coal Mining which regulates downstreaming, there has been a transformation in the constellation of rules that bring consequences to changes in the structure of the main variables in it. This study uses a prospective analysis method with the MICMAC (Matrix Cross- Reference Multiplcation Applied to a Classification) tool which is strengthened by normative juridical methods supported by empirical data. This study uses the Legal Theory of Positivism as an analysis knife. The results show shifts and changes. In Law No.4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, it is found that there are only three variables (Socio-Political Conditions, Regional Political Dynamics, Environmental Protection) and in Law No.3 of 2020 concerning Mineral and Coal Mining, there are seven main variables (Socio-Political Conditions, National Economic Conditions, Global Policy Changes, Downstreaming and Added Value, Global Commodity Market Stability, Commitment to Transparency).</em><br /><em><strong>Keywords:</strong> MICMAC; Positivisme Law Theory; Prospective Analysis; Strategic Variable; Transformation.</em></p> Anna Suryani Iwan Darmawan Agus Satory Copyright (c) 2025 Anna Suryani, Iwan Darmawan, Agus Satory https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 10.24970/bhl.v10i1.469 Keadilan Hijau bagi Masyarakat Adat di Meja Peradilan Tata Usaha Negara http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/436 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Artikel ini mengkaji secara kritis kedudukan hukum masyarakat adat dalam sengketa tata usaha negara terkait izin lingkungan serta menilai peran dan batasan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam menjamin keadilan ekologis bagi komunitas adat. Dalam berbagai kasus, masyarakat adat menghadapi hambatan struktural dalam memperoleh perlindungan hukum yang memadai, antara lain akibat tidak diakuinya <em>legal standing</em> kolektif, minimnya pengakuan formal wilayah adat, serta pendekatan prosedural dalam pembuktian yang tidak selaras dengan karakteristik komunitas lokal. PTUN, yang secara normatif hanya memeriksa aspek administratif keputusan, belum sepenuhnya mampu menjangkau dampak substantif atas hak hidup dan kelestarian lingkungan masyarakat adat. Penelitian ini menawarkan strategi keadilan hijau sebagai pendekatan korektif terhadap keterbatasan sistem peradilan tata usaha negara, dengan merekomendasikan reformasi hukum acara PTUN, integrasi prinsip <em>Free, Prior and Informed Consent</em> (FPIC), penguatan peran hakim dalam interpretasi progresif, serta perluasan akses masyarakat adat terhadap bantuan hukum dan bukti partisipatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa transformasi regulasi dan kelembagaan sangat diperlukan untuk menjadikan PTUN sebagai forum penyelesaian sengketa yang tidak hanya legalistik, tetapi juga menjamin perlindungan hak-hak kolektif masyarakat adat dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> keadilan hijau; masyarakat adat; izin lingkungan; peradilan tata usaha negara; FPIC.</p> <p> </p> <p><em><strong>Abstract</strong></em></p> <p><em>This article critically examines the legal standing of Indigenous peoples in administrative court disputes related to environmental permits. It assesses the role and limitations of the Administrative Court (PTUN) in safeguarding ecological justice for Indigenous communities. In various cases, Indigenous peoples face structural barriers in obtaining adequate legal protection, including the non-recognition of their collective legal standing, lack of formal recognition of customary territories, and procedural approaches to evidence that are incompatible with the sociocultural characteristics of Indigenous groups. The PTUN, which normatively focuses on the procedural legality of administrative decisions, has not yet fully accommodated the substantive impacts of environmental decisions on Indigenous rights and livelihoods. This study proposes a green justice strategy as a corrective approach to the limitations of the administrative judicial system, recommending reform of the PTUN procedural law, integration of the Free, Prior and Informed Consent (FPIC) principle, strengthened progressive interpretation by judges, and expanded access for Indigenous communities to legal aid and participatory evidence mechanisms. The analysis indicates that regulatory and institutional transformation is essential to reposition the PTUN as a dispute resolution forum that transcends legal formalism and ensures the protection of collective Indigenous rights within the framework of sustainable development.</em></p> <p> </p> <p><em><strong>Keywords: </strong>green justice; indigenous peoples; environmental permits; administrative court; FPIC. </em></p> Syafa'at Anugrah Pradana Copyright (c) 2025 Syafa'at Anugrah Pradana https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 10.24970/bhl.v10i1.436 Transformasi Kerangka Hukum Lingkungan Indonesia melalui Next Generation Framework: Evaluasi Normatif-Praktis Tata Kelola Terpadu http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/473 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Hukum lingkungan di Indonesia telah mengalami berbagai transformasi selama empat dekade terakhir, terutama dalam bidang kebijakan dan peraturan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, perubahan ini sering mencerminkan pergeseran yang meningkat ke arah kekakuan administrasi, yang mengorbankan tujuan substantif keberlanjutan dan kualitas layanan publik. Studi ini menerapkan <em>Next Generation Framework</em> (NGF), alat evaluatif komprehensif yang dikembangkan oleh Fonseca dan Gibson (2020) untuk melakukan meta-evaluasi terhadap lima peraturan lingkungan utama Indonesia yang dikeluarkan antara tahun 1986 dan 2021. Melalui analisis konten kualitatif dan penilaian berbasis ahli dari 50 elemen praktik baik di sepuluh kategori NGF, penelitian ini mengungkapkan kesenjangan kelembagaan kritis dalam rasionalitas hukum, integrasi keberlanjutan, mekanisme partisipatif, dan fleksibilitas adaptif. Temuan menunjukkan bahwa sementara peraturan terbaru menekankan perampingan prosedural dan integrasi digital, mereka secara bersamaan mengabaikan landasan normatif seperti keadilan lingkungan jangka panjang, hak-hak adat, dan tata kelola yang responsif. Penelitian ini menempatkan NGF dalam kerangka hukum normatif-praktis, memposisikannya sebagai alat diagnostik yang berharga untuk reformasi kelembagaan. Pada akhirnya, studi ini mengusulkan reorientasi desain hukum dalam tata kelola lingkungan yang menyelaraskan maksud normatif, praktik administrasi, dan responsif sosial-ekologis dalam pemberian layanan publik.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> <em>next generation framework</em> (NGF); tata kelola lingkungan; evaluasi hukum normatif; kelembagaan; <em>environmental impact assessment</em> (EIA).</p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p> <p><em>Environmental law in Indonesia has undergone multiple transformations over the last four decades, particularly in the realm of Environmental Impact Assessment (EIA) policies and regulations. However, these changes often reflect an increasing shift toward administrative rigidity, compromising the substantive goals of sustainability and public service quality. This study applies the Next Generation Framework (NGF</em><em>, </em><em>a comprehensive evaluative tool developed by Fonseca and Gibson (2020)</em> <em>to conduct a meta-evaluation of five key Indonesian environmental regulations issued between 1986 and 2021. Through qualitative content analysis and expert-based scoring of 50 good practice elements across ten NGF categories, this study reveals critical institutional gaps in legal rationality, sustainability integration, participatory mechanisms, and adaptive flexibility. Findings show that while recent regulations emphasize procedural streamlining and digital integration, they simultaneously neglect normative foundations such as long-term environmental justice, indigenous rights, and responsive governance. The research situates NGF within a normative-practical legal framework, positioning it as a valuable diagnostic tool for institutional reform. Ultimately, the study proposes a reorientation of legal design in environmental governanc</em><em>e </em><em>one that harmonizes normative intent, administrative practice, and socio-ecological responsiveness in public service delivery. </em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>next generation framework (NGF); environmental governance; normative legal evaluation; institutional reform; environmental impact assessment (EIA). </em></p> Farid Mohammad Surjono Hadi Sutjahjo Hefni Effendi Imas Sukaesih Sitanggang Dwi P Sasongko Copyright (c) 2025 Farid Mohammad, Surjono Hadi Sutjahjo, Hefni Effendi, Imas Sukaesih Sitanggang, Dwi P Sasongko https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-24 2025-10-24 10 1 10.24970/bhl.v10i1.473 Implementasi Green Campus di Universitas Padjadjaran: Melalui Integrasi Model Hukum Pembangunan dan Komunikasi Lingkungan http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/474 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Isu keberlanjutan lingkungan kini menuntut respons nyata dari seluruh institusi, termasuk perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran (Unpad) sebagai salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia telah mengimplementasikan konsep <em>green campus</em> melalui kebijakan formal dan berbagai program lingkungan. Artikel ini menganalisis implementasi <em>green campus</em> di Unpad dengan menggunakan Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yang menekankan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat (<em>law as a tool of social engineering</em>), serta Model Komunikasi Lingkungan dari Robert Cox, yang memandang komunikasi sebagai praktik simbolik dalam membentuk persepsi, partisipasi, dan tindakan lingkungan. Keterbaruan penelitian ini memadukan hukum pembangunan dan komunikasi lingkungan dalam menganalisis implemetasi <em>green campus</em>. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus di Kampus Unpad Jatinangor. Teknik pengumpulan data meliputi studi dokumen, observasi lapangan, dan wawancara dengan sembilan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi internal Unpad seperti Peraturan Rektor tentang <em>green campus</em> sudah selaras dengan kerangka hukum nasional, tetapi efektivitas implementasi sangat ditentukan oleh iklim komunikasi partisipatif. Tanpa komunikasi lingkungan yang inklusif, hukum cenderung berhenti pada tataran normatif. Sebaliknya, Komunikasi yang kuat, jika tidak diiringi dengan landasan hukum, berisiko hanya menjadi gerakan sesaat.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> <em>green campus;</em> hukum Pembangunan; komunikasi lingkungan; keberlanjutan lingkungan; <em>UI Green Metric.</em></p> Agus Sumpena Uud Wahyudin Agus Rahmat Copyright (c) 2025 Agus Sumpena, Uud Wahyudin, Agus Rahmat https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-10-31 2025-10-31 10 1 10.24970/bhl.v10i1.474